Senin, 09 November 2009

Motivasi, drive reinforcement dan teori harapan

Nama kelompok :
• Putri Sri Dewi (10507313)
• Evita Dewi A (10507079)
• Uli M.Z (10507317)
• Restyka (10507200)

Pengertian Motivasi

Perkataan motivasi adalah berasal daripada perkataan Bahasa Inggeris “MOTIVATION“. Perkataan asalnya ialah “MOTIVE” yang juga telah dipinjam oleh Bahasa Melayu / Bahasa Malaysia kepada motif, yakni bermaksud tujuan. Di dalam surat khabar, kerap pemberita menulis ayat “motif pembunuhan”. Perkataan motif di sini boleh kita fahami sebagai sebab atau tujuan yang mendorong sesuatu pembunuhan itu dilakukan.
Pengertian motivasi menurut Para ahli
• Motivasi adalah dorongan psikologis yang mengarahkan seseorang ke arah suatu tujuan. Motivasi membuat keadaan dalam diri individu muncul, terarah, dan mempertahankan perilaku,
• Motivasi adalah daya pendorong dari keinginan kita agar terwujud. Motivasi adalah sebuah energi pendorong yang berasal dari dalam kita sendiri.
• Motivasi adalah daya pendorong dari keinginan kita agar terwujud. Energi pendorong dari dalam agar apapun yang kita inginkan dapat terwujud. Motivasi erat sekali hubungannya dengan keinginan dan ambisi, bila salah satunya tidak ada, motivasi pun tidak akan timbul.
• menurut Kartini Kartono motivasi menjadi dorongan (driving force) terhadap seseorang agar mau melaksanakan sesuatu.
• Menurut Wexley & Yukl (dalam As’ad, 1987) motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif, dapat pula diartikan hal atau keadaan menjadi motif.
• Sedangkan menurut Mitchell (dalam Winardi, 2002) motivasi mewakili proses- proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu.
Oleh itu kita dapat definisikan bahwa:
Motivasi adalah sesuatu yang menggerak dan mengarahkan terhadap tujuan seseorang dalam tindakan-tindakannya sama ada secara negatif atau positif. Motivasi adalah merupakan sejumlah proses- proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu, baik yang bersifat internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi.
Motivasi yang ada pada setiap orang tidaklah sama, berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Untuk itu, diperlukan pengetahuan mengenai pengertian dan hakikat motivasi, serta kemampuan teknik menciptakan situasi sehingga menimbulkan motivasi/dorongan bagi mereka untuk berbuat atau berperilaku sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh individu lain/ organisasi.

Teori Drive – Reinforcement
Teori ”drive” bisa diuraikan sebagai teori-teori dorongan tentang motivasi, perilaku didorong ke arah tujuan oleh keadaan-keadaan yang mendorong dalam diri seseorang atau binatang. Contohnya., Freud ( 1940-1949 ) berdasarkan ide-idenya tentang kepribadian pada bawaan, dalam kelahiran, dorongan seksual dan agresif, atau drive (teorinya akan diterangkan secara lebih detail dalam bab kepribadian). Secara umum , teori-teori drive mengatakan hal-hal berikut : ketika suatu keadaan dorongan internal muncul, individu di dorong untuk mengaturnya dalam perilaku yang akan mengarah ke tujuan yang mengurangi intensitas keadaan yang mendorong. Pada manusia dapat mencapai tujuan yang memadai yang mengurangi keadaan dorongan apabila dapat menyenangkan dan memuaskan. Jadi motivasi dapat dikatakan terdiri dari:
1. Suatu keadaan yang mendorong
2. Perilaku yang mengarah ke tujuan yang diilhami oleh keadaan terdorong
3. Pencapaian tujuan yang memadai
4. Pengurangan dan kepusaan subjektif dan kelegaan ke tingkat tujuan yang tercapai
Setelah keadaan itu, keadaan terdorong akan muncul lagi untuk mendorong perilaku ke arah tujuan yang sesuai. Pengulangan kejadian yang baru saja diuraikan seringkali disebut lingkaran korelasi.
Teori-teori Drive berbeda dalam sumber dari keadaan terdorong yang memaksa manusia atau binatang bertindak. Be berapa teori, termasuk teori Freud, dipahami oleh keadaan terdorong sejak belum lahir, atau instingtif. Tentang perilaku binatang, khususnya ahli ethologi telah mengusulkan suatu penjelasan suatu mekanisme dorongan sejak kelahiran (tinbergen, lorenz, dan leyhausen dalam morgan, dkk. 1986). Teori-teori drive yang lain telah mengembangkan peran belajar dalamkeaslian keadaan terdorong. Contohnya, dorongan yang di pelajari (learned drives), seperti mereka sebut, keaslian dalam latihan seseorang atau binatang atau pengalaman masa lalu dan yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Karena penggunaan minuman keras sebelumnya, ketagihan heroin, contohnya mengembangkan suatu dorongan untuk mendapatkan hal tersebut, dan karena itu mendorong ke arah itu. Dan dalam realisasi motif sosial, orang telah belajar dorongan untuk kekuasaan, agresi atau prestasi. Keadaan terdorong yang dipelajari menjadi ciri abadi dari orag tertentu dan mendorong orang itu ke arah tujuan yang memadai, orang lain mungkin belajar motif sosial yang lain dan didorong ke arah tujuan yang berbeda.
2. Teori Pengukuhan (Reinforcement Theory)
Teori ini mempunyai dua aturan pokok : aturan pokok yang berhubungan dengan perolehan jawaban –jawaban yang benar dan aturan pokok lain yang berhubungan dengan penghilangan jawaban-jawaban yang salah. Pengukuran dapat terjadi positif (pemberian ganjaran untuk satu jawaban yang didinginkan ) atau negatif ( menghilangkan satu rangsang aversif jika jawaban yang didinginkan telah diberikan ), tetapi organisme harus membuat antara akasi atau tindakannya dengan sebab akibat.
Siegel dan Lane (1982), mengutip Jablonke dan De Vries tentang bagaimana manajemen dapat meningkatakan motivasi tenaga kerja., yaitu dengan:
1. Menentukan apa jawaban yang diinginkan
2. Mengkomunikasikan dengan jelas perilaku ini kepada tenaga kerja.
3. Mengkomunikasikan dengan jelas ganjaran apa yang akan diterima. Tenaga kerja jika jawaban yang benar terjadi
4. Memberikan ganjaran hanya jika jika jawaban yang benar dilaksanakan.
5. Memberikan ganjaran kepada jawaban yang diinginkan, yang terdekat dengan kejadiannya.
individu lainnya akan menggerakkan orang untuk bekerja lebih baik. Ada 3 kategori kebutuhan menurut David McClelland, yakni :
• Kebutuhan akan berprestasi (Needs for Achievement→nAch)
Kecenderungan termotivasi dengan situasi yang penuh tantangan dan persaingan.
• Kebutuhan akan berafiliasi (Needss for Affiliation→nAff)
Keinginan untuk bersahabat, lebih mementingkan aspek-aspek antarpribadi dalam interaksi, lebih senang bekerja sama, senang bergaul, dan berusaha mendapatkan legitimasi dari orang lain.
• Kebutuhan akan kekuasaan (Needss for Power→nPow)
Mencoba menguasai orang lain dengan cara mengatur perilakunya dan membuat orang lain terkesan kepada dirinya.
Process Theory
Teori ini melakukan pencermatan kepada suatu upaya bagaimana perilaku seorang orang dibangkitkan, diarahkan dan dipertahankan. Teori ini menekankan pada pertanyaan “mengapa” seorang termotivasi. Termasuk ketegori teori motivasi proses antara lain :
1. Teori harapan→Expectancy Theory
Diciptakan oleh V.H. Vroom. Bila seorang memiliki kepercayaan bahwa di masa yang akan datang akan memiliki peluang/harapan maka akan menjadi energi yang menggerakkan semangat. Teori ini didasarkan atas :
• Harapan (expectancy)
Yaitu peluang subyektif seorang orang yang usahanya akan dapat diwujudkan dan percaya bahwa usaha yang dilakukan akan berpengaruh terhadap perilaku kerjanya, misalnya dalam bentuk kontrak prestasi, dapat gaji, penghasilannya semakin naik. Derajad kepercayaan secara kuantittif dinyatakan antara “0” hingga “1”
• Valensi (valence)
Berkaitan dengan daya tarik (attactiveness), adalah hasil yang diantisipasi seorang orang. Jika seorang merasa tertarik terhadap pekerjaan tertentu maka akan dikuantifikasikan dengan nilai “+1” sebaliknya jika tidak tertarik akan diberikan nilai”-1”.
• Pertautan (instrumentality)
Yaitu kepercyaan seorang orang bahwa tingkat kinerja tertentu akan memberikan hasil yang tertentu pula. Mempunyai nilai antara “0” hingga “-1”.
2. Teori Keadilan→Equity Theory
Keadilan merupakan daya penggerak yang mampu memotivasi semangat kerja. Jika seorang orang menerima perlakuan tidak adil (inequity) maka akan membawa akibat :
a. Timbulnya tekanan dalam individu (strees)
b.Jumlah tekanan akan sama dengan besarnya (magnitude) dari equity.
c. Tekanan akan mengurangi motivasi.
Strategi yang dikembangkan untuk mengurangi inequity diantaranya adalah :
a. Mengubah input misalnya mengurangi usaha yang dilakukan
b. Mengubah out put misalnya meminta kenaikan upah
c. Menarik diri atau meninggalkan
3. Teori Penguatan→Reinforcement Theory
Teori ini didasarkan atas hubungan sebab akibat dari perilaku dengan pemberian kompensasi. Teori ini terdiri dari dua jenis, yakni :
a. Penguatan positif (Positve Reinforcement) yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengaruh positif diterapkan secara bersyarat.
b. Penguatan negatif (Negative Reinforcement) yaitu bertambahnya frekuensi perilaku jika penguatan negatif dihilangkan.

Teori Harapan

Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
teori harapan adalah keputusan untuk mencurahkan usaha. Nadler dan Lawler (1976) atas teori harapan menyarankan beberapa cara tertentu yang memungkinkan manejer dan organisasi menangani urusan mereka untuk memperoleh motivasi maksimal dari pegawai Pastikan jenis hasil atau ganjaran yang mempunyai nilai bagi pegawai
1. Definisikan secara cermat, dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dan diukur, apa yangdinginkan dari pegawai
2. Pastikan bahwa hasil tersebut dapat dicapai oleh pegawai
3. Kaitkan hasil yang dinginkan dengan tingkat kinerja yang di inginkan
4. Pastikan bahwa ganjaran cukup besar untuk memotivasi perilaku yang penting
5. Orang bekinerja tinggi harus menerima lebih banyak ganjaran yang diinginkan daripada orang yang berkinerja rendah

SUMBER :
http://www.indogamers.com/f261/teori_teori_motivasi-200334/
http://sutisna.com/pendidikan/strategi-belajar-mengajar/pengertian-motivasi/

Teori-teori Kepemimpinan

Teori-teori Kepemimpinan

Teori-teori kepemimpinan yang mendominasi pembahasan kepemimpinan sebelum tahun 1900, menjadi pendahulu munculnya teori-teori kepemimpinan yang menekankan sifat-sifat pemimpin. Untuk melengkapi pandangan tersebut , para ahli teori mulai memberikan perhatian yang lebih besar pada faktor-faktor situasional dan lingkungan. Selanjutnya , dikembangkan pula teori-teori integrasi antara manusia dan situasi, psikoanalisis, pencapaian peran, perubahan, tujuan dan berbagai kebetulan yang menyebabkan orang bisa menjadi pemimpin.
Adapun teori-teori kepemimpinan yaitu :
Y Teori kepemimpinan V-Room&Yeton Modern
Y Teori kepemimpinan Contingensi of Leadhership (Fiedler)
Y Teori kepemimpinan Path-goal

Teori Kepemimpinan Vroom & Yetton
Teori kepemimpinan Vroom&Yetton disebut juga Teori Normatif (Normative Theory), karena mengarah kepada pemberian suatu rekomendasi tentang gaya kepemimpinan yang sebaiknya digunakan dalam situasi tertentu. Yaitu berfokus pada tingkat partisipasi yang diperbolehkan oleh pemimpin dalam pengambilan keputusan dan seleksi pendekatan yang akan memaksimalkan manfaat yang akan didapat kelompok dan pada waktu yang bersamaan, meminimalisasi gangguan pencapaian tujuan kelompok. .
Teori ini juga memberikan serangkaian aturan untuk menentukan bentuk dan banyaknya pengambilan keputusan partisipatif dalam situasi yang berbeda – beda.( Robbins, Stephen P, 2003.)
Model yang menjelaskan bagaimana seorang pemimpin harus memimpin dalam berbagai situasi. Model ini menunjukkan bahwa tidak ada corak kepemimpinan tunggal yang dapat diterapkan pada semua situasi. (Gibson, Ivancevich, & Donelly, 1996.)
Teori Kepemimpinan Vroom&Yetton ini merupakan salah satu teori contingency. Menurut teori ini, gaya kepemimpinan yang tepat ditentukan oleh corak persoalan yang dihadapi oleh macam keputusan yang harus diambil. Model teori ini dapat digunakan untuk :
- membantu mengenali berbagai jenis situasi pemecahan persoalan secara berkelompok ( group problem solving situation)
- menyarankan gaya – gaya kepemimpinan mana yang dianggap layak untuk setiap situasi. Ada tiga perangkat parameter yang penting yaitu klasifikasi gaya kepemimpinan, kriteria efektivitas keputusan, kriteria penemukenalan jenis situasi pemecahan persoalan.
Vroom& Yetton, menyajikan lima gaya pengambilan keputusan, yaitu :
Y A-I
Ciri – ciri :
Anda memecahkan persoalan atau mengambil keputusan sendiri dengan menggunakan informasi yang pada waktu itu ada pada anda.
Y A-II
Ciri – ciri :
Anda memperoleh informasi yang diperlukan dari bawahan, lalu memutuskan pemecahannya sendiri. Anda dapat atau tidak mengatakan kepada bawahan apa persoalannya sewaktu memperoleh informasi dari mereka. Peran yang dimainkan bawahan anda dalam pengambilan keputusan adalah memberikan informasi yang diperlukan, dan bukan mengajukan atau menilai alternative – alternative pemecahan.
Y C – I
Ciri – ciri :
Anda memberitahukan persoalan kepada beberapa bawahan yang relevan secara pribad, memperoleh gagasan dan saran mereka tanpa mengumpulkan mereka dalam satu kelompok. Kemudian Anda mengambil keputusan yang mungkin atau tidak mencerminkan pengaruh dari bawahan anda.
Y C – II
Ciri – ciri :
Anda memberitahukan persoalan kepada bawahan sebagai satu kelompok , memperoleh gagasan dan saran mereka secara kolektif. Kemudian anda mengambil keputusan yang mungkin atau tidak mencerminkan pengaruh dari bawahan anda.
Y G – II
Ciri – ciri :
Anda memberitahukan persoalan kepada bawahan sebagai satu kelompok. Bersama-sama meraka anda menghasilkan dan menilai berbagai alternative pemecahan dan berusaha untuk mencapai suatu kesetujuan atau consensus mengenai satu pemecahan. Peran anda mirip seorang ketua. Anda tidak mencoba untuk mempengarhi kelompok untuk menerima pemecahan Anda, dan anda bersedia untuk menerima dan melaksanakan setiap pemecahan yang didukung oleh seluruh anggota kelompok.
Kriteria efektivitas keputusan dalam teori ini mencakup mutu dari keputusan, penerimaan keputusan oleh bawahan atau kesediaan mereka untuk melaksanakan keputusan, dan jumlah waktu yang diperlukan untuk sampai pada pemecahannya. Berikut ini adalah aturan yang mempengaruhi kelayakan dari gaya kepemimpinan :
a) Aturan Informasi – Pemimpin
Jika mutu dari keputusan penting dan pemimpin tidak memiliki informasi atau kecakapan untuk memecahkan persoalan sendiri, maka gaya kepemimpinan A-I tidak sesuai.
b) Aturan Kesesuaian
Jika mutu dari keputusan penting, jika para bawahan tidak mau berusaha untuk mencapai tujuan organisasi sewaktu mereka mencoba memecahkan persoalan, maka G-II tidak merupakan gaya kepemimpinan yang layak.
c) Aturan Persoalan – Tidak Berstruktur
Jika mutu dari keputusan penting dan persoalan tidak berstruktur , sedangkan pada saat yang sama pemimpin tidak memiliki kecakapan atau informasi yang diperlukan untuk memecahkan persoalan sendiri, maka metode untuk memecahkan persoalan harus memberikan peluang kepada bawahan yang memiliki informasi yang diperlukan untuk saling berinteraksi. Dalam situasi ini gaya kepemimpinan A-I, A-II dan C-I tidaklah cocok.
d) Aturan Penerimaan
Jika penerimaan dari satu pemecahan oleh para bawahan adalah penting dan terdapat suatu ketidakpastian tentang akan diterimanya suatu keputusan otokratik, maka gaya kepemimpinan A-I dan A-II tidak layak untuk digunakan.
e) Aturan Konflik
Jika penerimaan dari suatu pemecahan oleh kelompok adalah pening dan jika suatu keputusan otokratik tidak akan diterima, dan jika ada kemungkinan ketidaksetujuan anatara bawahan yang berusaha memecahkan persoalan, maka gaya kepemimpinan harus memberikan kesempatan kepada pihak – pihak yang tidak setuu untuk mengatasi perbedaan mereka, dan memberikan kepada mereka pengetahuan selengkapnya dari persoalan. Dibawah kondisi ini gaya kepemimpinan A-I, A-II dan C-I tidak layak digunakan.
f) Aturan Kewajaran
Jika penerimaan oleh kelompok penting tetapi mutu dari keputusan tdak penting, maka gaya kepemimpinan harus memberikan peluan kepada bawahan untuk berinteraksi dan berunding tentang apa pemecahan yang wajar. Jika di bawah kondis ini tidak dapat dipastikan bahwa suatu keputusan otokratik akan diterima, maka gaya kepemimpian A-I, A-II, C-I, dan C-II tdak sesuai.
g) Aturan Prioritas – Penerimaan
Jika penerimaan dari pemecahan penting, tidak dapat dipastikan sebagai hasil dari suatu keputusan otokratik, dan jika bawahan berkemauan untuk mengarah ke tujuan organisasi dalam mencarai suatu pemechan, maka gaya kepemimpinan yang diinginkan adalah yang memberikan kesamaan hak kepada anggota tanpa merugikan mutu pemecahan, karena ini akan menghasilkan penerimaan yang lebih besar dari keputusan. Dengan demikian gaya kepemimpinan A-I, A-II, C-I, dan C-II tidak akan sesuai.

Teori kepemimpinan Contingensi of Leadhership (Fiedler)
Model teori ini dikembangkan oleh Fiedler. Model ini menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif tergantung pada situasi yang dihadapi dan perubahan gaya bukan merupakan suatu hal yang sulit. Model ini serupa sekali dengan gaya kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard. Konsepsi kepemimpinan situasional ini melengkapi pemimpin dengan pemahaman dari hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kematangan (maturity) pengikutnya. Perilaku pengikut atau bawahan ini amat penting untuk mengetahui kepemimpinan situasional, karena bukan saja pengikut sebagai individu bisa menerima atau menolak pemimpinnya, akan tetapi sebagai kelompok, pengikut dapat menentukan kekuatan pribadi apapun yang dimiliki pemimpin. Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan.
Model ini menyatakan bahwa keefektifan suatu kelompok bergantung pada :
• hubungan dan interaksi pemimpin dengan bawahannya
• sejauh mana pemimpin mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi.
Dalam hal yang pertama yaitu hubungan dan interaksi pemimpin dengan bawahanya dapat dinilai dengan kuesioner LPC ( Least Prefered Coworker ). Skor pada Lpc ini dapat digunakan untuk mengidenfikasikan Gaya Kepemimpinan (jarak psikologis antara pemimpin dengan bawahan, apakah pemimpin berorientasi pada tugas / hubungan).
- Jika skor LPC Tinggi, maka pemimpin berorientasi pada hubungan ( relationship oriented )
- Jika skor LPC Rendah, maka pemmpin berorientasi pada tugas ( task oriented )
Sedangkan untuk hal yang kedua yaitu sejauh mana pemimpin mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi , ditentukan oleh tiga variabel situasi :
1. Hubungan Pemimpin – Anggota ( Leader – Member Relations )
2. Struktur Tugas ( Task Structure )
3. Kekuasaan Kedudukan ( Position Power )
Dari skor LPC dan situasi dapat disimpulkan bahwa :
- Pemimpin dengan skor LPC Rendah ( Pemimpin yang berorientasi pada tugas ) dapat berhasil dalam situasi kelompok yang menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan
- Pemimpin dengan skor LPC Tinggi ( Pemimpin yang berorientasi pada hubungan ) dapat berhasil dalam situasi kelompok yang moderat derajat keuntungannya
LPC Contingency Model dari Fiedler berhubungan dengan pengaruh yang melunakkan dari tiga variabel situasional pada hubungan antara suatu ciri pemimpin (LPC) dan kinerja pengikut. Menurut model ini, para pemimpin yang berskor LPC tinggi adalah lebih efektif untuk situasi-situasi yang secara moderat menguntungkan, sedangkan para pemimpin dengan skor LPC rendah akan lebih menguntungkan baik pada situasi yang menguntungkan maupun tidak menguntungkan. Leader Member Exchange Theory menjelaskan bagaimana para pemimpin mengembangkan hubungan pertukaran dalam situasi yang berbeda dengan berbagai pengikut. Hersey and Blanchard Situasional Theory lebih memusatkan perhatiannya pada para pengikut. Teori ini menekankan pada perilaku pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya dan hubungan pemimpin pengikut.
Leader Participation Model menggambarkan bagaimana perilaku pemimpin dalam proses pengambilan keputusan dikaitkan dengan variabel situasi. Model ini menganalisis berbagai jenis situasi yang mungkin dihadapi seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Penekanannya pada perilaku kepemimpinan seseorang yang bersifat fleksibel sesuai dengan keadaan yang dihadapinya.
Fiedler memperkenalkan tiga variabel yaitu:
- Task structure : keadaan tugas yang dihadapi apakah structured task atau unstructured task
- Leader-member relationship : hubungan antara pimpinan dengan bawahan, apakah kuat (saling percaya, saling menghargai) atau lemah.
- Position power : ukuran aktual seorang pemimpin, ada beberapa power yaitu:
• legitimate power : adanya kekuatan legal pemimpin
• reward power : kekuatan yang berasal imbalan yang diberikan pimpinan
• coercive power : kekuatan pemimpin dalam memberikan ancaman
• expert power : kekuatan yang muncul karena keahlian pemimpinnya
• referent power : kekuatan yang muncul karena bawahan menyukai pemimpinnya
• information power : pemimpin mempunyai informasi yang lebih dari bawahannya.
Dari hasil penelitian, Fiedler menyimpulkan bahwa pendekatan yang berorientasikan tugas lebih efektif bila kondisi kelompok sangat menguntungkan (pemimpin baik/hubungan kelompok baik, posisi pemimpin kuat, dan struktur buruk/relasi kelompok buruk , posisi pemimpin lemah dan tugas yang tidak jelas). Kepemimpinan yang berorientasi kelompok lebih disukai/baik bila kondisi relatif stabil, yang dengan demikian perhatian dapat dicurahkan pada preservasi relasi kelompok, upaya pencegahan konflik, dan pekerjaan yang tidak efisien yang kemudian dapat membuat keadaan kelompok menjadi tidak harmonis.

PATH-GOAL THEORY
Robert House mengemukakan Path- Goal Theory yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi. Teori ini menjelaskan bahwa efektivitas seorang pemimpin didasarkan atas kemampuannya di dalam menimbulkan kepuasan dan motivasi para anggota kelompok, dengan menggunakan rancangan insentif untuk penghargaan dan hukuman bagi mereka yang berhasil atau gagal dalam mencapai tujuan kelompok. Untuk mencapai tujuan tersebut seorang pemimpin diwajibkan untuk menggunakan perilaku kepemimpinan yang berbeda sesuai dengan tuntutan situasi. Perilaku pemimpin akan diterima oleh anggota kelompok sejauh mereka menganggap itu sebagai sumber kepuasan langsng atau kepuasan pada masa yang akan datang.
Robert House memulai teorinya dengan formulasi awal sebagai berikut :
Fungsi motivasi pemimpin terdiri dari peningkatan imbalan pribadi kepada bawahan atas pencapaian tugasnya, membuat jalan yang lebih mudah untuk mendapatkan imbalan tersebut, dengan memberi penjelasan, mengurangi hambatan, dan meningkatkan peluang untuk mendapatkan kepuasan pribadi.
Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan model-model sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).
Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002). Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).
Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.
Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.
Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1. Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
2. Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003)
Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.
Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.
Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.
Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).
• Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
1) Letak Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.
2) Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.
3) Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
• Karakteristik Lingkungan
Pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
1) Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
2) Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
1) Struktur Tugas
Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
2) Wewenang Formal
Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi
3) Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.

Sumber :
• http://putrititania.ngeblogs.com/2009/10/26/kepemimpinan/